Tentang Kami

BERITA HOT

RUBRIKASI

Terkait Aturan Saksi Tak Wajib Hadir, Abdul Chair Ramadhan Nilai Ada Ketidakpastian Hukum

http://www.radionasional.com/2017/11/terkait-aturan-saksi-tak-wajib-hadir-abdul-chair-ramadhan-nilai-ada-ketidakpastian-hukum.html
Jakarta, RN - Sidang uji materiil Pasal 162 ayat (1) dan (2) terkait aturan saksi tidak wajib hadir dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (20/11) pekan lalu. Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut, Pemohon menghadirkan Abdul Chair Ramadhan sebagai Ahli.

Seperti diberitakan laman resmi Mahkamah Konstitusi, Abdul menyebut pasal a quo menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut karena adanya konflik norma antara Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dengan Pasal 185 ayat (6) KUHAP. Abdul menyebut  Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) bersinggungan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (6) dan Pasal 1 angka 27 KUHAP yang kemudian melahirkan konflik norma. Pasal 185 ayat (6) KUHAP menyebutkan, “(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b .persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.”

“Dengan adanya ketentuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang menempatkan keterangan sumpah pada tahap penyidikan, disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah, diucapkan di sidang, maka validitas suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia alami, dan ia lihat sendiri, tentu akan kehilangan maknanya dan tidak dapat dilakukan cross-check atas kebenarannya,” jelasnya dalam perkara Nomor 74/PUU-XV/2017.

Dosen Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah tersebut menerangkan pasal yang diujikan oleh Pemohon dinilai mengabaikan due process of law. Hal tersebut karena semua bermuara pada validitas petunjuk bagi hakim dan mengurangi hak-hak atau kepentingan terdakwa dalam persidangan yang seharusnya memang dihadirkan keterangan saksi untuk menilai sah atau tidaknya dan validitas keterangan saksi tersebut. Ia juga berpendapat unsur terpenting untuk mengkonfrontir suatu keterangan saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 165 ayat (4) menjadi tidak berarti ketika saksi yang dimaksudkan tidak hadir di pengadilan dan tidak dapat dikonfrontir dengan saksi-saksi yang lainnya. “Dimana keterangannya saksi dibacakan, tentulah diragukan validitas dan kebenarannya, sepanjang tidak ada kesesuaian dengan alat-alat bukti yang lainnya, tidak ada kesesuaian dengan para keterangan saksi yang lainnya,” jelas Abdul.

Sementara, Ahli Pemohon lainnya, Akhiar Salmi menyebut kehadiran saksi berguna untuk menggali kebenaran materiil. Apabila keterangan saksi hanya dibacakan dalam persidangan tanpa hadirnya saksi, maka yang terjadi adalah kebenaran formal yang merupakan tujuan hukum acara perdata, bukan tujuan hukum acara pidana.

“Kebenaran materiil hanya dapat diperoleh melalui alat bukti berupa keterangan saksi dalam persidangan karena pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana dapat bertanya langsung kepada saksi dan menggali mengapa saksi mengetahui peristiwa tersebut, alasan dari pengetahuannya, sehingga sulit bagi saksi untuk berbohong,” jelasnya.

Emir Moesi, mantan Anggota DPR periode 2004-2009 yang merupakan Pemohon mempermasalahkan aturan terkait keterangan saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan memperbaiki permohonan. Pemohon mendalilkan Pasal 162 ayat (1)  bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan mengacu pada Pasal 28D UUD 1945. Pasal a quo menyebut seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangannya itu sama nilainya dengan saksi yang hadir di persidangan. Menurutnya ketentuan itu berpotensi menghilangkan hak konstitusional seorang terdakwa. Pemohon menilai hal tersebut rentan diselewengkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sebab keterangan saksi tersebut tidak bisa dibantah saksi-saksi yang lain, tidak bisa dikonfrontir dengan keterangan yang lain, tidak bisa ditanya oleh terdakwa. Bahkan hakim pun tidak bisa bertanya dan melihat ekspresi ketika orang tersebut memberikan kesaksiannya. Di sisi lain, ujarnya, pasal tersebut tidak lagi relevan. Teknologi saat ini sudah berkembang pesat. Jika ada seorang saksi tidak bisa datang ke persidangan karena alasan sesuai dengan pasal tersebut, maka dapat dilakukan via komunikasi visual/teleconference.

REDAKSI | MAHKAMAH KONSTITUSI
Bagikan

Radio Nasional

Komentar Anda