Tentang Kami

BERITA HOT

RUBRIKASI

Kasus Setya Novanto Pasca Praperadilan: Lanjut atau Berhenti?

Beberapa hari belakangan, publik masih ramai membahas tentang Praperadilan antara KPK versus Setya Novanto (Ketua DPR RI), yang dalam hal ini dimenangkan oleh Setya Novanto. Dimana bunyi putusan tersebut adalah, penetapan status Tersangka terhadap Setya Novanto adalah tidak sah.
Kasus Setya Novanto
Batam, RN - Beberapa hari belakangan, publik masih ramai membahas tentang Praperadilan antara KPK versus Setya Novanto (Ketua DPR RI), yang dalam hal ini dimenangkan oleh Setya Novanto. Dimana bunyi putusan tersebut adalah, penetapan status Tersangka terhadap Setya Novanto adalah tidak sah. 

Menjadi menarik karena berbagai macam penafsiran dan pendapat muncul ditengah masyarakat. Ada yang menganggap putusan tersebut sangat melukai rasa keadilan masyarakat, tidak sedikit pula yang menganggap putusan tersebut telah sesuai dengan kaidah yang berlaku. Apapun itu, yang jelas, sebagai masyarakat, kita harus menghormati terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh seorang hakim. 

Dalam hal ini, sebagai seorang akademisi, tentunya menarik bagi saya khususnya, untuk menuangkan pemikiran terkait hal tersebut, dimana pemikiran ini lepas dari segala macam pengaruh dan intervensi. Dengan kata lain, opini ini murni melihat dari sudut keilmuan yang dimiliki secara pribadi dan tentunya dengan melihat kaidah-kaidah yang berlaku.

BACA JUGA:

Sah atau tidaknya penetapan tersangka, masuk dalam objek praperadilan, secara yuridis formal baru muncul setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 yang diajukan permohonannya oleh Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pasific Indonesia. Sejak saat itu, nyaris banyak kejadian setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka akan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri, untuk menguji sah atau tidaknya status tersangka yang disandangnya.

Setya Novanto, yang notabene adalah seorang Ketua DPR RI dan sekaligus sebagai Ketua Umum Golkar, apapun beritanya, maka akan menjadi minat dan perhatian publik untuk mengikuti. Demikian juga ketika permohonan praperadilan yang diajukannya, bahwasanya ia menganggap penetapan tersangka yang ditetapkan oleh KPK adalah tidak sah, dan itu diamini oleh hakim. Maka timbul pertanyaan, bagaimana dengan kelanjutan atas perkara tersebut. Sebagian menganggap berhenti saat itu juga, sebagian lagi kasus tersebut dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan kembali.

Praperadilan tentunya maknanya jauh berbeda dengan peradilan. Dalam dunia peradilan, ketika seseorang telah dinyatakan oleh majelis hakim bersalah atau tidak bersalah, dan putusan tersebut telah incraht, maka sampai kapanpun, kasus tersebut tidak dapat diajukan lagi ke pengadilan. 

Ketika perkara yang sama tersebut oleh penuntut umum diajukan kembali ke pengadilan, maka akan berlaku asas hukum ne bis in idem. Bagaimana dengan praperadilan dalam kasus Setya Novanto? 

Dalam pandangan saya, hakim yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka terhadap Setya Novanto yang dilakukan KPK adalah tidak sah, berarti maknanya ada cara, prosedur, dan/atau tindakan KPK ketika menetapkan tersangka tersebut, mungkin telah bertentangan dengan kaidah hukum, sehingga tindakannya tersebut menjadi tidak sah. Hakim praperadilan dalam putusannya tidak menyatakan bahwa Setya Novanto tidak bersalah dalam kasus yang melilitnya. 

Maka dari itu, dalam pandangan saya, walaupun status tersangkanya telah gugur, hal itu tidak menghilangkan sifat perbuatan pidana dalam kasus tersebut (e-KTP). Dan itu sejalan dengan putusan MK di atas dalam halaman 106, berbunyi:

“... namun demikian perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar".

Dari rumusan frase di atas, bahwa boleh saja ada beberapa pihak mengatakan kasus Setya Novanto berhenti dan ditutup, tetapi saya dapat mengatakan bahwa, walaupun telah dimenangkannya Setya Novanto dalam perkara praperadilan tersebut, KPK tetap berwenang melakukan penyidikan kembali dalam kasus yang sama, tentunya dengan memperhatikan kaidah hukum yang benar dan ideal.

Kita melihat dalam rentetan kasus yang sama, dengan terdakwa atas nama Irman dan Sugiharto, membuktikan bahwa dalam kasus tersebut telah ada perbuatan pidana, jadi KPK tinggal mengembangkan dengan melakukan penyidikan kembali, apakah ada peran Setya Novanto dalam kasus tersebut.

Melihat fenomena praperadilan berkaitan dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, sebetulnya saya termasuk pihak yang tidak setuju bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka masuk dalam ranah praperadilan. 

Mengapa? Sebagaimana kita ketahui, ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, kemudian mengajukan praperadilan, dan hakim praperadilan mengabulkan dalam putusannya. Hal tersebut tidak mengakibatkan imlipkasi serius terhadap kasus yang dihadapinya. Bahwasanya itu adalah salah satu bentuk pengawasan terhadap tindakan penyidik, agar tidak terjadi maladministrasi dan pelanggaran HAM, itu betul. Namun pada dasarnya, setelah putusan tersebut, walaupun kalah, kapanpun penyidik dapat mengangkat kasus tersebut kembali untuk dilakukan penyidikan. Lalu untuk apa status tersangka terhadap kita dinyatakan tidak sah, toh itu tidak menggugurkan perbuatan pidananya, justru sebaliknya, suatu saat nanti, kapanpun itu kita bisa juga dijadikan tersangka kembali dalam kasus yang sama. 

Selain itu, dalam prakteknya, objek sah atau tidak penetapan tersangka, penafsirannya sangat luas sekali. Jika kita menilik beberapa putusan praperadilan, antara yang satu dan yang lainnya sangat multikompleks. Beberapa alasan tidak sahnya penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK antara lain, hakim berpendapat alat buktinya kurang, Penyidik KPK tidak berwenang, tersangka korupsi bukan pejabat negara, korupsi dibawah 1 milyar, dan lain-lain. Ujung-ujungnya, hampir setiap putusan hakim tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Dan imbasnya adalah nama baik hakim yang terkadang mendapat stigma negative di masyarakat.

Penulis adalah Rustam,S.H.,M.H. Kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan di Batam.

Bagikan

Radio Nasional

Komentar Anda